Share It

HMIPAPUA.INFO – JAYAPURA. Puluhan mahasiswa yang sedang ikut Basic Training (LK I) Komisariat STIE Port Numbay dan Tarbiyah antusias menonton Film Dokumenter “Kinipan” yang disutradarai oleh Dandhy Laksono di Aula Graha Insan Cita Papua, Kotaraja, Sabtu (16/10). Selain peserta, pemutaran film Kinipan juga dihadiri oleh salah satu Pemerhati Lingkungan Hidup dan Konservasi di Kota Jayapura

Puluhan mahasiswa ini terdiri berasal dari Universitas Muhammadiyah Papua, IAIN Fattahul Muluk Papua, ISBI Di Tanah Papua, dan Universitas Cenderawasih.

Pemerhati Lingkungan Hidup dan Konservasi Gamel mengatakan, pemutaran film kinipan tersebut sangat bagus dikarenakan membuka wawasan Lingkungan bagi generasi muda khususnya Mahasiswa di Tanah Papua.

“Saya meminta kepada Mahasiswa, setelah menonton film ini agar jeli dan lebih memprotect kawasan hutan di tanah papua. Perlu diketahui bahwa Papua adalah benteng terakhir keanekaragaman hayati Indonesia. Kita tidak usah bicara Kalimantan dan Sumatera yang sudah dipenuhi oleh Sawit, tapi mari kita bicara Papua,” katanya.

Bambang Rumadan, Peserta LK 1 dari Komisariat Tarbiyah mengaku sangat miris sekaligus membuka wawasan terhadap isu lingkungan yang terjadi di Indonesia salah satunya Omnibus Law

“Film ini menceritakan bahwa Indonesia ini sedang tidak baik – baik saja. Dikarenakan pemerintah banyak memangkas undang undang sehingga dampaknya ke masyarakat kecil dan terbukti itu juga terjadi di Tanah Papua,” ungkapnya

Hal tersebut juga diungkapkan dari salah satu peserta dari Komisariat Stie Port Numbay Yahya Tifen mengatakan, kondisi hutan saat ini sangat perlu diseriusi pemerintah

“Saat ini dunia sedang berbicara Global Warming maka dari itu pemerintah harus lebih peka terhadap isu lingkungan sebab ketika diam saja maka yakin dan percaya banyak masyarakat yang akan kehilangan mata pencahariannya,” katanya

Ketua Umum HMI Cabang Jayapura Syarif Nawal Kotarumalos mengatakan, Film Kinipan ini juga menyadarkan mahasiswa untuk lebih peka terhadap isu lingkungan maupun Omnibus Law.

“Saya berterimakasih kepada Mas Dandhy Laksono yang sudah membuat film ini, dari film ini ada banyak persoalan – persoalan negara yang disoroti dan semakin memperburuk kerusakan lingkungan,” ucapnya. (Ikbal)*

By admin

2 thoughts on “Peserta LK I Angkatan 112 Komisariat STIE PN dan Tarbiyah Nonton Bareng Film Dokumenter “KINIPAN””
  1. Alhamdulillah. Puluhan mahasiswa yang sedang ikut Basic Training (LK I) Komisariat STIE Port Numbay dan Tarbiyah antusias menonton Film Dokumenter “Kinipan” yang disutradarai oleh Dandhy Laksono di Aula Graha Insan Cita Papua, Kotaraja, Sabtu, 16 Oktober 2021. Selain peserta, pemutaran film “Kinipan” juga dihadiri oleh salah satu Pemerhati Lingkungan Hidup dan Konservasi di Kota Jayapura.

    Puluhan mahasiswa ini terdiri berasal dari Universitas Muhammadiyah Papua, IAIN Fattahul Muluk Papua, ISBI Di Tanah Papua, dan Universitas Cenderawasih.

    Pemerhati Lingkungan Hidup dan Konservasi Gamel mengatakan, pemutaran film “Kinipan” tersebut sangat bagus dikarenakan membuka wawasan Lingkungan bagi generasi muda khususnya mahasiswa di Tanah Papua.

    Film ini berjudul “Kinipan.” Melalui film ini, orang Kinipan diperlihatkan, bukan hanya mereka yang menderita karena sebagian hutan adat terinvasi perusahaan sawit di Kalimantan Tengah. Kerusakan hutan dan masyarakat tersingkir juga terjadi di tempat lain. Mereka juga melihat persoalan Kinipan bisa terjadi karena ada aturan dan sistem yang jauh di luar laman mereka. Persoalan seperti di Kinipan, masalah Indonesia secara umum.

    Film berisi kritik terhadap kebijakan lingkungan hidup pemerintah. Kali ini, organisasi lingkungan yang punya saham atas bisnis karbon pun kecipratan kritik. Film ini berpandangan, kebijakan-kebijakan pemerintah gagal memulihkan lingkungan hidup dan menjawab krisis karena mengabaikan peran tradisional masyarakat di sekitar hutan.

    Film ini juga membandingkan ambisi food estate dengan konsep pertanian rakyat dalam mengelola sawah sejak 38 tahun lalu oleh transmigran. Indonesia dinilai lebih baik menerapkan konsep lumbung pangan secara terpisah-pisah di masing-masing daerah demi keamanan dan kelestarian lingkungan hidup daripada membuat kompleks pertanian terpusat dalam skala luas.

    Film dokumenter panjang ini dirangkai dalam format bab per bab seperti buku. Ini untuk membantu penonton memahami benang merah dari kasus dan tema yang berbeda. Ia juga menjadi lebih mudah dipahami karena menggunakan dua aktor yang telah berpengalaman dua dekade lebih dalam gerakan konservasi di tingkat tapak (grass root) sebagai penggerak cerita. Mereka adalah Basuki Santoso dan Feri Irawan.

    Di bawah temaram cahaya bulan di lapangan laman (desa) Kinipan, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah. Film produksi Watchdoc ini mendahului jadwal resmi nonton bareng, mulai 1 April 2021. Sekitar 300-an orang, atau separuh dari cacah jiwa Kinipan, memadati arena nonton itu.

    Bagi orang Kinipan, film ini sangat ditunggu-tunggu, mengingat judul film yang menggunakan nama kampung mereka. Mereka sadar, sejak konflik lahan dengan PT Sawit Mandiri Lestari (SML) naik ke permukaan mulai 2018, Kinipan terus dibicarakan hingga tingkat nasional.

    Ternyata mereka memperoleh lebih dari sekadar nama untuk judul dari sebuah film yang disutradarai Dandhy Dwi Laksono dan Indra Jati ini.

    Melalui film ini, orang Kinipan diperlihatkan, bukan hanya mereka yang menderita karena sebagian hutan adat terinvasi perusahaan sawit di Kalimantan Tengah. Kerusakan hutan dan masyarakat tersingkir juga terjadi di tempat lain. Mereka juga melihat persoalan Kinipan bisa terjadi karena ada aturan dan sistem yang jauh di luar laman mereka. Persoalan seperti di Kinipan, masalah Indonesia secara umum.

    Film dokumenter berdurasi 2, 37 jam. Film ini bertolak dari dasar pikir bahwa deforestasi dapat makin mendekatkan patogen (mikroorganisme parasit) pada manusia, yang bisa berujung pada munculnya pandemi.

    Isi film ini kemudian juga mengaitkan persoalan itu dengan kelahiran kebijakan UU Cipta Kerja omnibus law, penyingkiran masyarakat adat, dan kegagalan pemerintah menciptakan solusi bagi rusaknya hutan di Indonesia.

    Film berisi kritik terhadap kebijakan lingkungan hidup pemerintah. Kali ini, organisasi lingkungan yang punya saham atas bisnis karbon pun kecipratan kritik. Film ini berpandangan, kebijakan-kebijakan pemerintah gagal memulihkan lingkungan hidup dan menjawab krisis karena mengabaikan peran tradisional masyarakat di sekitar hutan.

    Kinipan dibuka dengan kisah deforestasi dan upaya penghijauan kembali (reforestasi) di Taman Nasional Tanjung Putting (TNTP) Kalimantan Tengah. Ia mengisahkan kawasan-kawasan terbakar, dan upaya reforestasi. Hutan terlarang dijamah karena berada dalam taman nasional pun, tetapi rentan musnah karena kebakaran.

    Kondisi di sekeliling sudah terkonversi sawit skala luas, menyebabkan ketersediaan air di hutan mudah hilang saat kemarau jadi salah satu sebab. Di sana ada Basuki Santoso, dari Friend of National Park Foundation (FNPF) dan masyarakat setempat yang belasan tahun bertahan menanam kembali hutan yang terdegradasi itu. Usaha reforestasi tidak mudah, lantaran tak semua spesies pohon cepat tumbuh besar.

    Lalu fragmen berpindah ke Sumatera, bagian tengah. Kerusakan hutan digambarkan dengan makin menyusut populasi harimau Sumatera. Ini juga menyebabkan perkembangbiakan babi hutan meninggi, yang menjadi hama serius bagi kebun-kebun masyarakat sekitar hutan.

    Hutan Indonesia kaya keragaman hayati itulah yang Basuki temukan di hutan adat Kinipan. Namun, hutan yang dia datangi itu sudah terancam serius. Sebagian telah terkonversi menjadi perkebunan sawit. Di sana ada juga ketegangan. Masyarakat Kinipan membangun pos dan lebih sering berjaga di hutan, untuk mencegah berlanjutnya aktivitas pembabatan hutan oleh perusahaan sawit.

    Sampai kemudian tokoh adat Kinipan, Effendi Buhing dan sejumlah pemuda ditangkap polisi karena dituduh mencuri gergaji mesin perusahaan. Video penangkapan Effendi itu viral dan membuat kasus Kinipan makin diketahui publik. Gara-gara penangkapan itu, solidaritas terhadap Kinipan makin menguat.

    Lahan Kinipan makin terdegradasi, tergambar dari situasi banjir besar yang belum pernah terjadi di Kinipan pada September 2020.

    Dandhy Dwi Laksono, sutradara film ini hadir dalam gala premiere di Kinipan dua tokoh itu dipilih sebagai ‘engine’ cerita karena karakter ideologi dan gaya gerakan mereka ada di grass root. “Banyak model gerakan lingkungan. Ada yang fokus ke satwa. Ada yang fokus ke konservasi atau sains. Ada yang kebijakan, ada yang ke agrarianya. Nah, dua tokoh ini secara ideologi dan movement-nya, kami anggap lebih dekat dengan editorialnya Watchdoc dalam memandang masalah lingkungan,” ucap Dandhy.

    Pertimbangan lain, dua pegiat lingkungan ini bekerja lama secara partisipatif dan melihat ekologi sebagai sebuah kosmologi yang komprehensif, yaitu dari aspek manusia, lingkungan, satwa dalam satu ekosistem.

    Dandhy bilang, mereka tidak muncul hanya untuk kepentingan pengadeganan. Mereka punya legitimasi hadir sebagai pegiat lingkungan. “Jadi ini bukan kaya dua host jalan-jalan, anak kota jalan-jalan ke hutan, ke desa, terus bikin komentar-komentar nggak jelas. Mereka sudah punya rekam jejak yang panjang . Basuki sudah 17 tahun. Feri sejak 90-an.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *