MANOKWARI – Pelaksanaan Intermediate Training LK-II tingkat nasional, yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Manokwari semakin dekat.
Rencananya, pada 06 Februari 2021 akan di langsungkan intermediate Training (LK-II) tingkat Nasional oleh HmI cabang Manokwari.
Ketua Panitia LK-II HMI Cabang Manokwari, Hasanudin K. Ohibor mengatakan, Intermediate Training atau LK-II merupakan agenda wajib HMI di setiap cabang.
“Artinya, kita wajib sebagai selaku pengurus cabang setiap satu kali dalam satu periode, harus melakukan LK-II,” ujar Hasanudin, Senin (18/1)
Selain itu, ujar dia, melalui training ini, HMI juga menyiapkan generasi emas, yang mampu menyesuaikan diri di era revolusi industri. Serta menyiapkan diri menjadi pemimpin bangsa ini kedepannya.
“Kami dari panitia sudah maksimal dalam bekerja dan Alhamdulillah sudah mencapai 95 persen,” ujar Ketua Panitia LK-II HMI Cabang Manokwari.
Artinya, lanjut Ohibor, saat ini pihaknya (panitia) sudah mendapat dukungan dari semua stekholder, dan siap mengsukseskan LK-II HMI Cabang Manokwari.
“Kalau terkait dengan pemateri, disini kita akan hadirkan pemateri Nasional, Regional dan Lokal. Yang alhamdulillah 90 persen, sudah mengonfirmasi kehadirannya,” ungkap Hasanudin.
Sementara untuk peserta yang sudah konfirmasi untuk mengikuti LK-II HMI Cabang Manokwari, ucap dia, terdiri dari beberapa cabang yaitu cabang Tondano, Merauke, Tual, Fakfak, Sorong, dan Cabang Biak.
“Untuk cabang lain, kami panitia masih menunggu konfirmasi sampai tanggal 25 Januari 2021 mendatang,” kata Ohibor.
(Safwan : Manokwari)
Saya berharap kepada kader-kader muda HMI seperti Panitia LK ke-2 Manokwari, saya salut adik-adik bisa menjadi panitia, menjadi Ketua HMI Cabang, Kohati, dan sebagainya, terapi adik-adik harus bisa menulis. Hanya dengan menulis, adik-adik itu dianggap ada. Kader HMI selain mampu berkomentar, tidak hanya bisa berkomentar, tetapi juga mampu menulis artikel, juga diharapkan menulis buku.
“Menulis adalah sebuah keberanian…, ” itu ungkap Pramoedya Ananta Toer. Ia dikenal sebagai pengarang Indonesia yang sangat produktif dengan menghasilkan kurang lebih 50 karya yang telah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa asing, Pramoedya Ananta Toer tentu layak disebut jagoannya sastra Indonesia.
Gaya kepenulisannya yang dikenal tajam dan penuh kritik kadang membuatnya ditakuti oleh banyak orang dan tentu saja dikagumi oleh lebih banyak orang lagi. Berbagai karya telah ia ciptakan mulai dari buku berjudul “Anak Semua Bangsa, Bumi Manusia,” Jejak Langkah hingga Rumah Kaca.”
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari”
Kutipan yang tertulis dalam buku: “Anak Semua Bangsa, Pram memberikan gambaran bahwa dengan menulis, keabadian yang takkan pernah bisa dicapai manusia ternyata bisa diimplementasikan melalui sebuah tulisan. Sebuah karya abadi yang tak lekang oleh waktu.
Pramoedya Ananta Toer bukan orang himpunan, mungkin kita lebih mendalam tentang Islam, tetapi sejak SD Pramoedya telah menulis.
Meski Pramoedya dianggap tokoh kiri, tetapi ia pernah meminta Buya Hamka meng-Islamkan menantunya.
Waktu itu, panasnya api perseteruan tak selamanya abadi. Kadangkala keyakinan yang sama mampu mendamaikannya. Seperti konflik yang terjadi di antara Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) dan Pramoedya Ananta Toer.
Dua tokoh sastra kenamaan Indonesia itu bersebrangan paham. Namun -ada akhirnya, Islam jualah yang mendamaikan mereka.
Perseteruan di antara Hamka dan Pram bermula pada awal tahun 1963. Jagad sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar di Jakarta, yakni “Harian Rakyat” dan “Harian Bintang Timur.” Kedua koran tersebut berafiliasi pada Partai Komunias Indonesia (PKI) di masa itu.
Keduanya memberitakan karya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van der Wijck merupakan hasil jiplakan.
Rubrik Lentera dalam koran “Harian Bintang Timur” yang diasuh Pram, secara detil mengulas cara Hamka mencuri karangan itu. Karya tersebut diduga milik sastrawan asing, Alvonso Care.
Berbulan-bulan lamanya kedua koran tersebut terus menerus memojokan Hamka. Bahkan, kedua koran itu tak hanya mengkritik karya Hamka. Mereka juga menyerang Hamka secara pribadi.
Irfan Hamka, putra Hamka yang menuliskan memoar tentang ayahnya, dalam buku yang berjudul: ” Ayah,” mengaku sering dipojokan oleh guru sastra Indonesianya semasa SMA. Gurunya saat itu memang dekat dengan tokoh Lekra seperti Pram.
“Guru sastra Indonesiaku, begitu pula dengan guru Civic-ku (Kewarganegaraan), keduanya dengan gaya mengejek selalu menanyakan kesehatan ayah, dan tak lupa berkirim salam kepada Ayah, kupingku selalu panas mendengarnya,?” aku Irfan dalam bukunya.
Seiring berjalannya waktu, para pegiat Lekra pun harus menghadapi kenyataan pahit. Peristiwa G 30 S PKI, mengharuskan mereka masuk ke dalam daftar pencarian orang untuk ditangkap.
Kedekatan mereka dengan tokoh-tokoh PKI dianggap sebagai bentuk kegiatan subversif terhadap negara. Pram termasuk pihak yang ditangkap dan dipenjara di Pulau Buru.
Cerita yang dikutip dari Kompas.com ini melanjutkan cerita Hamka dengan Pramoedya Ananta Toer:
Beberapa tahun kemudian, Pram pun bebas. Namun, Hamka tak pernah mengusik perosalan masa lalunya dengan Pram.
“Ayah sama sekali tak pernah terusik dan beraktivitas seperti biasanya saja,”? papar Irfan.
Pada suatu kesempatan, Hamka kedatangan sepasang tamu. Seorang perempuan Jawa dengan nama Astuti dan seorang lelaki keturunan Tionghoa bernama Daniel Setiawan.
“Saat Astuti memperkenalkan siapa dirinya, Ayah agak terkejut, ternyata Astuti adalah putri sulung dari Pram,” lanjut Irfan.
Astuti pun mengutarakan maksud kedatangannya kepada Hamka. Dia memohon kepada Hamka agar membimbing calon suami yang dibawanya serta untuk masuk Islam. Astuti mengatakan, sang ayah tak setuju jika memiliki menantu yang berbeda iman.
Setelah mengetahui maksud kedatangan Astuti, tanpa sedikit keraguan, Hamka langsung meluluskan permohonan sang tamu. Ia membimbing Daniel Setiawan, calon menantu Pram membaca dua kalimat syahadat.
Hamka lantas menganjurkan Daniel untuk segera berkhitan dan menjadwalkan untuk mempelajari Islam dengannya.
Sepanjang pertemuannya dengan putri sulung Pram itu, Hamka tak sekalipun menyinggung persoalannya dengan Pram beberapa tahun silam.
Salah seorang teman Pram, Hoedaifah Koeddah, sempat menanyakan alasannya mengirim calon menantunya kepada Hamka untuk mempelajari Islam. Pram pun menjawab dengan penuh ketegasan.
“Masalah paham kami tetap berbeda, saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka,” tutur Pram seperti dikutip dalam buku Ayah, karya Irfan Hamka.
Hoedaifah pun sempat menuliskan cerita tersebut dalam majalah Horison edisi Agustus Tahun 2006. Dia melihat tampaknya kisah Pram yang mengirim calon menantunya kepada Hamka, sekaligus menunjukan permintaan maafnya.
Saran Pramoedya Ananta Toer tentang menulis:
“Menulislah sedari SD, apa pun yang ditulis sedari SD pasti jadi”
Semua perlu proses. Ketika tulisanmu yang awalnya dianggap jelek dan tak bermutu, ingat semua itu adalah proses untuk terus belajar. Ungkapan yang disebutkan Pram tersebut menyinggung bahwa menulis bukanlah sebuan proses instan yang mudah.
Dengan menulis sajak SD, kita akan paham bahwa semua perlu waktu hingga menghasilkan tulisan yang berkualitas.
Pramoedya juga berpendapat:
“Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna”
Kata Pramoedya Ananta Toer lagi:
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”